Rabu, 25 April 2012

Studi Kasus Hak Kebebasan Berpendapat


 

Pengalaman tidak mengenakkan Prita sebagai seorang pasien dari sebuah rumah sakit, dilampiaskan dengan keluh kesah berkirim email pada temannya. Tidak diduga oleh siapapun ternyata curahan hati itu berdampak hukum, harus mendekam di penjara. Benarkah hanya karena memberi kritik seseorang bisa ditahan?  Mengapa sebuah keluhan seorang pasien lewat media elektronik internet dapat berdampak hukum demikian besar?
Sebenarnya bila ditilik secara cermat, pengalaman seperti ini banyak sekali dialami baik oleh pasien dan pihak rumah sakit. Cukup sering dijumpai seorang pasien mengadukan ketidak puasan layanan seorang dokter dan rumah sakit baik di media cetak, elektronik dan internet. Fenomena yang biasa terjadi ini menjadi sesuatu yang sangat besar karena baru pertamakali sebuah rumah sakit berani menuntut dugaan pencemaran nama baik yang dilakukan pasien. 
Kasus Prita, merupakan potret sebuah riak kecil dalam kehidupan masyarakat yang mampu menghebohkan masyarakat Indonesia. Tampaknya fenomena ini dijadikan proses pembelajaran bagi masyarakat tentang permasalahan yang selama ini yang terjadi.
Tidak fokus masalah

Mungkin bagi sebagian masyarakat hal itu merupakan sebuah sekedar kritikan untuk sebuah pelayanan  rumah sakit. Kelompok lain mengatakan sekedar kirim email mengapa harus mengorbankan seorang Ibu rumah tangga dengan memisahkan dua anak kecil di rumahnya. Tetapi pihak rumah sakit yang berseteru tetap bersikeras bahwa tulisan sang ibu jelas-jelas sebuah pencemaran nama baik.
Bila disimak lebih cermat ternyata asal muasal sengketa adalah dugaan pencemaran nama baik oleh bekas pasien kepada rumah sakit yang pernah merawatnya. Dalam tulisan tersebut tersurat bahwa rumah sakit berikut dokternya sebagai penipu dan rumah sakit mencari pasien berkedok hasil laboratorium yang fiktif. Jadi sekali lagi permasalah utama adalah dugaan pencemaran nama baik, bukan sekedar penulisan atau berkeluh kesah melalui email. Fokus masalah yang tidak jelas inilah yang akan mengaburkan permasalahan yang sebenarnya ada. Interpretasi pemcemaran nama baik sendiri akan terjadi multitafsir sehingga harus diarahkan pada jalur hukum.
Dari sebuah cerita yang kecil tersebut ternyata berdampak besar dan menjadi sesuatu kontroversi yang tiada berhenti ujungnya. Dari pengalaman yang seringkali terjadi tersebut menjadi melebar tak tentu arah. Karena pelaku dugaan pencemaran nama baik adalah seorang ibu yang tidak berdaya yang mempunyai anak kecil maka opini, simpati dan dukungan mengalir secara deras tak terbendung tanpa melihat fokus masalah dan demi kebebasan berpendapat.
Dengan suhu politisi yang tinggi ini tidak disia-siakan seorang calon presiden yang masih aktif menjabat wakil presiden mengatakan dengan lebih cepat dan lebih baik. Bebaskan Prita, polisi harus pelajari kasusnya lagi lebih baik. Sedangkan calon presiden lain yang biasa berhemat kata, dengan bahasa tubuh langsung mengunjungi Prita ke tempat tahanan. Presiden sebagai calon presiden incumbent seakan tak mau kalah menyikapinya secara jelas dan tegas mengatakan bahwa dalam menegakkan hukum harus memakai hati nurani dan rasa keadilan. Dalam pencitraan mungkin tindakan para calon pemimpin negeri ini sangat hebat dalam membela wong cilik. Tetapi dari sisi hukum campur tangan terhadap penegakan hukum yang selama ini didengungkan mereka, tampaknya akan pudar walau untuk membela kaum lemah.  Bukankah di mata hukum semua orang sama tidak ada bedanya.
Kalau sudah orang-orang besar dinegeri ini mengayuhkan langkahnya, pasti masyarakat dan pejabat di bawahnya akan mengikuti dan bersuara lebih keras lagi. Menteri kesehatan beberapa hari berikutnya dengan lantang mengatakan bahwa nama Internasional harus dicopot karena menyalahi aturan, padahal banyak nama Rumah Sakit Internasional yang serupa selama ini tidak dipermasalahkan. Kejaksaan Agung dan Polisi sebagai penegakan hukum ikut saling tuding karena desakan masyarakat dan campur tangan pemimpin negeri ini. Bahkan karenanya, dalam waktu singkat Prita langsung dibebaskan dari tahanan.
Begitu yang menjadi pelaku sengketa adalah Rumah Sakit dan dokter, maka kesempatan munculnya opini yang tak terkendali menyudutkan tindakan dokter dan rumah sakit di manapun berada. Permasalahan menjadi melebar kemana-mana. Permasalahan berlanjut pada dokter yang dianggap tidak manusiawi, rumah sakit mata duitan, dokter tidak professional dan sebagainya. Dokter adalah manusia biasa, sangkaan tersebut adalah hal yang mungkin saja benar terjadi walau tidak boleh digeneralisasikan.
Etika berpendapat

Paska reformasi bangsa Indonesia adalah negara demokrasi dan negara hukum yang melindungi setiap warga negara dalam melakukan setiap bentuk kebebasan berpendapat, menyampaikan gagasan baik secara lisan maupun tulisan, hal ini dilindungi peraturan perundang-undangan di Indonesia baik didalam batang tubuh UUD 1945 pasal 28, maupun diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 mengenai jaminan hak-hak sipil dan politik, dimana poin-poin hak yang harus dilindungi oleh Negara mengenai hak berpendapat, hak berserikat, hak memilih dan dipilih, hak sama dihadapan hukum dan pemerintahan, hak mendapatkan keadilan.
Paska reformasi pula masyarakat Indonesia mengalami euphoria demokrasi yang sangat hebat. Dahulu untuk berbicara dengan nada tinggi terhadap presiden sudah menjadi pidana, sekarang mengkritik presiden di depan umum adalah hal biasa. Tampaknya kasus Prita ini adalah kasus yang kesekian kali sebagai pembelajaran bagi bangsa ini dalam berdemokrasi yang sebenarnya.
Sebagai negara demokrasi kebebasan berpendapat tidak harus menjadi sekedar bebas mengemukakan pendapat tetapi harus bertanggung jawab dan beretika dalam berpendapat. Menentukan parameter nilai etika dalam berpendapat  yang ideal sangat sulit. Setiap upaya penentuan batas nilai etika berpendapat akan divonis sebagai pengebirian berpendapat. Bahkan undang undang baru seperti Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang diciptakan oleh para ahli hukum dan pendekar demokrasi saja dianggap mengkebiri kebebasan berpendapat.
Etika berpendapat tersebut tidak perlu harus sesuai dengan etika adat ketimuran atau etika kesopanan. Tetapi layaknya dalam berpendapat harus sesuai dengan fakta yang sebenarnya tanpa harus men”justifikasi” fakta yang masih belum jelas. Artinya, dalam kebebasan berpendapat tidak boleh memutarkan balikkan fakta kebenaran yang ada. Bila hal ini terjadi akan merupakan fitnah dan pencemaran nama baik. Bila etika berpendapat hanya melanggar etika adat, budaya dan kesopanan tidak terlalu masalah karena sangsi yang didapat hanyalah sekedar sangsi sosial.
Pameo lama mengatakan fitnah lebih kejam dari pembunuhan sehingga wajar bila itu terjadi akan berdampak hukum. Karena fitnah dan pencemaran nama baik akan berakibat sangat merugikan bagi yang mendapatkannya. Ternyata dari sebuah opini yang memutarkan balikkan fakta yang ada, dapat mematikan kehidupan dan mata pencaharian seseorang. Seorang pedagang bakso diisukan memakai daging celeng akan membuat pedagang akan kehilangan mata pencaharian. Begitu juga seorang dokter dituding sebagai penipu maka hancurlah citra profesionalnya. Demikian juga sebuah perusahaan kosmetik bila diisukan memakai minyak babi akan hancurlah perusahaan tersebut, demikian juga rumah sakit. Bila semua orang boleh bebas berpendapat seenaknya tanpa beretika, maka akan kacaulah negera demokrasi ini.
Dokter dan rumah sakit adalah pihak yang sering dijadikan sasaran tembak istilah tidak profesional, penipuan dan malpraktek baik oleh masyarakat dan media masa. Setiap hari dengan mudah ditemui milis kesehatan dan konsultasi kesehatan yang terlalu cepat memvonis bahwa seorang dokter melakukan malpraktek atau kesalahan dalam tugas profesionalnya. Setiap periode dapat disaksikan di media televisi dokter divonis malpraktek sebelum jalur hukum ditempuh. Bisa saja dari sekian banyak dugaan malpraktek tersebut bila diajukan dalam jalur hukum secara jujur dan ilmiah maka tidak sebanyak yang diduga. Meskipun tidak menutup mata tentang masih adanya tindakan malpraktek yang masih sering terjadi. Kecurigaan malpraktek kepada dokter atau rumah sakit biasanya terjadi karena kelemahan komunikasi pasien dan dokter atau perbedaan persepsi tindakan kedokteran. Hal lain sebagai penyebab adalah masalah harapan kesembuhan yang demikian besar tidak sebanding dengan biaya sangat besar yang telah dikeluarkan. Banyak cerita karena kebebasan berpendapat yang tidak sesuai dengan fakta kebenaran ternyata mengorbankan kerugian moral dan material bagi dokter dan rumah sakit yang sangat besar.
Bila seseorang pasien bersengketa atau tidak puas dengan layanan dokter atau rumah sakit bukan merupakan kesalahan bila berkeluh kesah di depan umum tentang keburukan layanan yang diterimanya.  Ketidakpuasan tersebut apakah karena layanan yang tidak menyenangkan atau karena rumah sakit menyalahi aturan yang ada.  Bila karena layanan yang tidak menyenangkan,  maka hal ini tidak masalah bila dikupas tuntas di depan umum. Justru beberapa rumah sakit mengharapkan masukan seperti ini untuk perbaikan kualitas layanannya. Bila fakta itu benar terjadi maka masalah tersebut harus diungkap karena akan berguna bagi masyarakat lain atau perbaikan dari dokter dan rumah sakit.
Menjadi lebih rumit bila masalah yang timbul bila rumah sakit atau dokter dianggap menyalahi aturan yang ada dan terlalu dini divonis bersalah. Masalah sering timbul karena perbedaan persepsi dan latar belakang pengetahuan dan keilmuan yang ada dari pihak yang bersengketa. Pihak pasien bersikeras bahwa pihak dokter atau rumah sakit melakukan malpraktek sedangkan pihak lainnya mengatakan sudah sesuai prosedur yang ada. Sengketa seperti inilah sebelum beropini bisa diajukan ke jalur hukum. Kalaupun sudah tidak sabar beropini maka sebaiknya menggunakan kalimat yang tidak bernada memutarbalikkan fakta yang ada. Atau jangan terburu-buru memvonis terjadi penipuan atau malpraktek sebelum mendalami permasalahan yang sebenarnya terjadi. Kebebasan berpendapat yang tidak sesuai dengan fakta yang ada akan dapat menghancurkan kehidupan seseorang dan sekelompok manusia yang ada di dalamnya. Jangan sekalipun berperasangka bahwa kebebasan beropini yang bertanggung jawab serta beretika akan memberangus kebebasan berpendapat. Demokrasi dibangun demi keadilan dan kebersamaan hak tanpa ada yang boleh dirugikan. Seorang demokrat yang bebas berpendapat dengan mengabaikan hak orang lain adalah demokrat yang “keblinger”. Masalahnya sekarang apakah hukum dan undang-undang yang ada dapat mengakomodasikannya tanpa harus mengkebiri kebebasan berpendapat seseorang.
Mungkin perlu debat yang tidak akan terselesaikan  untuk menentukan mana yang salah dan mana yang benar.  Sehingga jalur hukum adalah jalan tengah yang harus dilakukan, bila kompromi yang sudah ditawarkan tidak terselesaikan. Paling tidak masalah ini dapat dijadikan pembelajaran semua masyarakat. Bagi pihak dokter dan rumah sakit dalam memberikan pelayanan optimal harus memberikan komunikasi baik dan profesionalisme tinggi. Bagi pasien berhak mendapatkan perawatan yang terbaik dan berhak mengeluarkan ketidakpuasannya tanpa harus memberi tuduhan dan fakta yang belum jelas terbukti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar