Rabu, 25 April 2012

Studi Kasus Pertahanan Dan Keamanan Indonesia


 

 Masalah-masalah bidang pertahanan dan keamanan mencakup beberapa aspek yaitu masalah-masalah aktual dan perkembangan lingkungan strategis, aspek kebijakan, dan aspek penataan hubungan institusional dan kewenangannya. 

1. Aspek lingkungan strategis 

a. Lingkungan Internal
Perkembangan domestik masih menunjukkan beberapa ketidakpastian baik di bidang sosial, ekonomi, maupun politik. Pemulihan ekonomi diperkirakan masih menghadapi beberapa kendala antara lain karena lemahnya iklim investasi, pertumbuhan ekspor yang lamban, dan ketidakpastian hukum dan politik. Jumlah pengangguran dan mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan masih sangat besar. Masalah-masalah ini tidak hanya mengurangi kinerja ekonomi, tetapi juga akan melahirkan ketidakstabilan di kalangan masyarakat akar rumput. Kenaikan BBM yang mencapai lebih dari 100 persen makin memperburuk keadaan di atas.
Dalam beberapa tahun terakhir ini kemampuan negara untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat juga berkurang. Gejala ini tampaknya akan terus berlangsung. Kelemahan ekonomi dan keuangan negara adalah salah satu penyebab utama dari keadaan ini. Selain itu, pelembagaan politik untuk membangun sistem politik yang demokratis juga masih akan menghadapi berbagai persoalan. Hubungan lembaga-lembaga negara, terutama antara eksekutif dan legislatif tampaknya belum akan mampu melahirkan sistem checks and balances yang stabil. Negara juga akan dihadapkan pada tuntutan-tuntutan baru daerah dalam proses desentralisasi di Indonesia. Ketimpangan ekonomi dan masalah-masalah distribusi sumber-sumber ekonomi antara pusat dan daerah akan memperkuat tuntutan-tuntutan seperti itu. Proses ini akan memakan waktu yang lama.
Masalah-masalah di atas melahirkan tantangan terhadap proses reformasi politik di Indonesia. Hakekatnya adalah bahwa politik, baik pelaku maupun proses pelembagaannya, masih menghadapi krisis legitimasi, tidak hanya dalam konteks hubungan antara negara (state) dan masyarakat (society), melainkan juga dalam hubungan antara sipil dan militer (civil-military relations, CMR). Hubungan sipil-militer yang menundukkan institusi militer di bawah otoritas politik sebagai syarat pembangunan sistem politik yang demokratis masih sering dipahami secara salah. Bermainnya kepentingan-kepentingan kekuasaan dan ekonomi, baik kelompok politik sipil dan militer, menjadikan reformasi hubungan sipil-militer masih akan memakan waktu yang lama. Masalahnya menjadi makin rumit karena para pihak yang berkepentingan (stakeholders) dalam masalah hubungan sipil-militer tidak menjadikan masalah ini sebagai agenda politik nasional.
Persoalan-persoalan di atas, yaitu menurunnya kemampuan negara, krisis ekonomi, ketidakadilan, ketidakpastian transisi politik, dan masalah hubungan sipil-militer, menunjukkan bahwa Indonesia akan menghadapi masalah-masalah keamanan dalam negeri yang serius.
Ancaman kedua yang akan dihadapi oleh Indonesia adalah konflik komunal dan gerakan separatis. Konflik komunal lahir tidak hanya karena perbedaan nilai dan budaya, tetapi lebih mendasar adalah karena entitas/masyarakat tidak mampu menemukan bentuk interaksi yang lebih tinggi yang mengatasi ikatan komunal mereka. Masalah ini makin runyam karena masyarakat tidak merasakan kehadiran negara dan bentuk-bentuk ikatan politik dan ekonomi ke mana mereka memberikan loyalitas. Proses politik selama krisis ini tidak mampu mentransformasi konflik-konflik komunal ke dalam bentuk interaksi sosial politik yang terlembaga.
Banyak faktor menjelaskan munculnya separatisme yaitu sejarah, ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan politik, dan perasaan dimarginalkan oleh sistem politik dan ekonomi. Masalah ini akan makin rumit karena globalisasi dan keterbukaan menjadikan mereka yang terlibat mempunyai ruang lebih bebas untuk bergerak ke luar batas nasional. Sumber-sumber ekonomi dan finansial menjadi lebih luas dengan adanya kemampuan untuk membentuk jaringan–jaringan internasional yang memberikan mereka akses persenjataan dan dukungan eksternal, baik potensi dukungan resmi, maupun melalui kegiatan-kegiatan ilegal misalnya penyelendupan senjata, obat terlarang, dan kegiatan terorisme.
Bentuk ancaman ketiga yang akan dihadapi oleh Indonesia adalah kerusuhan sosial. Ini akan lahir ketika masyarakat menemui jalan buntu untuk mengatasi krisis, terutama ekonomi dan sosial. Dalam situasi krisis, di mana negara tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, dan bersamaan dengan itu lembaga dan proses politik kehilangan legitimasi, potensi kerusuhan sosial merupakan potensi ancaman yang dihadapi oleh Indonesia. Potensi kerusuhan sosial juga dapat memanfaatkan kerawanan hubungan-hubungan ikatan primordial, terutama agama, yang sangat mudah dimanipulasi. Akhir-akhir ini rasa aman dalam hubungan keagamaan mulai terusik.
Ancaman lain yang juga akan dihadapi adalah terorisme. Dalam kurun waktu 3-4 tahun terjadi serangan bom teroris dalam skala besar. Terorisme yang berkembang di Indonesia mempunyai akar kuat di dalam negeri Indonesia baik karena sejarah, ideologi-politik, lemahnya penegakkan hukum, dan tidak terpenuhinya kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik. Keberhasilan jaringan terorisme internasional masuk ke Indonesia lebih banyak ditentukan oleh masalah-masalah domestik di atas. Faktor lain adalah krisis ekonomi dan politik yang memberikan ruang bagi kelompok teroris untuk memberikan jalan alternatif dan mengeksploitasi ketidakpuasan masyarakat terhadap negara. Selain itu, ketidakmampuan negara untuk melakukan kontrol terhadap beberapa aspek yang dengan mudah bisa dimanfaatkan oleh jaringan terorisme, misalnya pengawasan terhadap arus manusia, wilayah maritim dan udara yang sangat terbuka. Yang tidak kalah penting adalah korupnya birokrasi dan aparat keamanan yang memudahkan jaringan teroris untuk menembus institusi-institusi dan perangkat-perangkat keamanan negara dan masyarakat. 

b. Lingkungan Eksternal
Sementara itu aspek eksternal menunjukkan kecil kemungkinan terjadi perang konvensional antar negara di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik yang akan mengancam keamanan dan kepentingan Indonesia. Kemungkinan terjadinya invasi militer ke Indonesia juga sangat kecil. Secara ekonomi dan politik, perang dan invasi militer adalah pilihan yang mahal baik dilihat dari politik domestik maupun dalam hubungan antar bangsa yang akan makin saling tergantung (interdependensi) di mana kepentingan nasional hanya bisa dipenuhi melalui kerjasama internasional. Dalam situasi seperti itu negara dan bangsa akan dihadapkan pada pilihan yang terbatas dalam menentukan kebijakan nasional mereka yang mempersempit kemungkinan lahirnya kebijakan luar negeri dan pertahanan yang agresif.
Meskipun demikian, akan lahir tantangan-tantangan baru yang harus diperhatikan oleh Indonesia. Pertama, Amerika Serikat (AS) masih akan mendominasi ekonomi dan politik dunia. Posisi AS dalam sistem internasional dewasa ini belum bisa ditandingi oleh kekuatan lain, bahkan oleh Uni Eropa, apalagi oleh kekuatan-kekuatan regional seperti Brasil, Argentina, Afrika Selatan, India, ASEAN, Jepang, dan China. Perilaku kekuatan-kekuatan ini belum mampu membentuk sistem internasional baru yang menantang supremasi AS.
Dalam posisi seperti itu, perubahan kebijakan dan perilaku Amerika Serikat dipastikan akan mempengaruhi kepentingan Indonesia. Terlebih untuk kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik yang merupakan kawasan sangat strategis bagi Amerika Serikat. Kehadiran Amerika Serikat di kawasan sekitar Indonesia ini akan tetap menjadi kondisi obyektif dalam perumusan kebijakan keamanan dan pertahanan Indonesia. Masalah-masalah baru internasional, seperti terorisme, keamanan jalur perdagangan, dan masalah-masalah hak azasi manusia akan mewarnai perilaku Amerika Serikat terhadap Indonesia yang sekarang dan dalam kurun waktu beberapa tahun ke depan diperkirakan belum mampu sepenuhnya mengontrol perkembangan-perkembangan internasional dan domestik.
Kedua, harus juga dicermati bahwa perkembangan-perkembangan ke depan di kawasan Asia Pasifik mengindikasikan bahwa konflik akan lebih banyak berdimensi maritim. Atau, aspek maritime akan membuat koflik menjadi makin kompleks. Penyelundupan manusia, penyebaran aksi terorisme, kejahatan internasional yang lain akan banyak memanfaatkan dimensi laut, terutama di negara-negara yang kemampuan patroli dan pengawasan wilayah lautnya sangat lemah seperti Indonesia. Bahkan ada kaitan yang erat antara terorisme, separatisme, dan kejahatan trans-nasional yang lain dengan memanfaatkan atau mengeksploitasi jalur-jalur laut di wilayah perairan Indonesia, sehingga mereka bisa bergerak dengan bebas untuk memasuki Indonesia. Ini menunjukkan bahwa keamanan laut tidak hanya strategis dalam hubungan dan politik internasional, melainkan juga strategis bagi keamanan domestik.
Kepentingan negara-negara di kawasan juga akan lebih banyak lahir dari lingkungan maritim, mulai dari perlindungan terhadap jalur komunikasi laut (SLOC, Sea Lanes of Communication) dan jalur perdagangan laut (SLOT, Sea Lanes of Trade) yang vital bagi perdagangan internasional, jalur pemasok energi, dan ekonomi. Selain itu dimensi maritim juga akan memberikan pilihan-pilihan strategis bagi negara-negara di kawasan ini untuk memproyeksikan kemampuan mereka ke luar batas nasional. Hal ini dilakukan misalnya dengan peningkatan kemampuan patroli atas wilayah laut baik wilayah jurisdiksi maupun wilayah ZEE dan jalur-jalur perdagangan, maupun dengan meningkatkan kekuatan pertahanan dengan prioritas angkatan laut dan udara. Dalam suatu kawasan yang berdimensi maritim sangat kuat, maka hanya negara yang membangun kekuatan maritim yang akan banyak mengendalikan percaturan politik dan strategis di kawasan ini. Dengan demikian, meskipun upaya untuk memperkuat kekuatan maritim oleh negara-negara Asia Pasifik belum sampai pada tahap persaingan untuk meraih supremasi laut, kecenderungan ke depan tampak jelas bahwa keamanan maritim akan menjadi agenda dan sekaligus masalah yang membentuk kebijakan keamanan dan pertahanan negara-negara di kawasan ini.
Ketiga, dalam sistem internasional yang didominasi oleh Amerika Serikat, kuatnya globalisasi yang membuka kesempatan untuk bersaing, dan kecenderungan pengembangan kekuatan maritim inilah munculnya Cina sebagai kekuatan regional dan global harus dilihat dengan perhitungan yang matang. Artinya, Cina sedang dan akan hadir sebagai tantangan dan sekaligus peluang. Indonesia akan dihadapkan pada dinamika hubungan Cina-Amerika Serikat yang akan ditandai oleh kuatnya upaya Cina untuk menyejajarkan diri dalam kelompok negara besar di kawasan terutama Jepang dan India, mampu bersaing dengan Amerika Serikat, mampu membentuk agenda keamanan dan politik di kawasan Asia Pasifik, dan mampu memenuhi kepentingan-kepentingan ekonomi nasionalnya yang makin mengandalkan pada keterbukaan ekonomi internasional dan globalisasi. Hampir dapat dipastikan bahwa untuk tujuan-tujuan tersebut Cina akan membuat kebijakan-kebijakan keamanan yang memungkinkannya mempunyai banyak pilihan-pilihan strategis. Oleh karena itu dapat dipahami Cina makin asertif dalam kebijakan luar negerinya yang ditopang dengan pengembangan kekuatan angkatan laut dan udara. Di bidang ekonomi, Cina makin membuka diri dan sekaligus mengikatkan diri dalam kerjasama ekonomi internasional. Cina yang akan datang adalah Cina yang baru yang lebih dinamis, terbuka, dan asertif yang akan hadir di kawasan sekitar Indonesia.
Sebaliknya, Cina yang gagal sebagai negara yang mengalami transformasi besar baik dalam politik domestik dan internasional, juga merupakan skenario yang tidak dapat dikesampingkan. Bahaya disintegrasi dan kesenjangan pusat-daerah, lahirnya gap besar antara kelas menengah baru akibat kemajuan ekonomi dengan masyarakat pedesaan, dan tuntutan demokratisasi yang makin besar akan menjadi tes bagi kelangsungan sistem politik komunis Cina. Tuntutan ini akan menjadi makin kuat karena membiarkan berjalannya sistem ekonomi dan sistem politik yang berbeda justru menciptakan bom waktu perubahan drastis dan tak terkendali. Jika ini terjadi, dipastikan akan terjadi gelombang manusia dan ketidakstabilan kawasan. Meskipun skenario ini kecil kemungkinan terjadi, resiko besar yang harus dihadapi oleh Cina dan negara-negara di kawasan menyebabkan perlu kehati-hatian dalam berhubungan dengan Cina, menekankan perlunya transparansi kebijakan, dan jika perlu kompromi-kompromi tertentu.
Keempat, melemahkan batas fisik nasional membuka ruang berkembangnya jaringan kejahatan trans-nasional. Para pelakunya dapat bergerak relatif bebas terutama di kawasan yang sangat terbuka. Di kawasan Asia Tenggara, hampir semua kejahatan trans-nasional berhasil mengeksploitasi keterbukaan dimensi maritim di kawasan, mulai dari penyelundupan manusia, perdagangan obat terlarang, terorisme, dan penyeludupan senjata ringan. Kerugian ekonomi dan politik-keamanan yang ditimbulkan oleh kejahatan trans-nasional sangat besar. Kejahatan trans-nasional akan melahirkan konflik-konflik baru tidak hanya antara negara, melainkan juga antara negara dengan aktor bukan-negara (non-state actors) yang melampaui batas-batas kedaulatan nasional. Melihat perkembangan-perkembangan saat ini, kecenderungan ke depan menunjukkan bahwa kejahatan trans-nasional akan menjadi lebih besar karena di dalamnya terdapat peluang yang lebih besar bagi para pelaku untuk memenuhi kepentingan-kepentingan mereka melalui beragam interaksi dan saluran. Ini sangat fundamental karena dalam globalisasi negara bukan lagi satu-satunya aktor atau entitas politik yang dapat menuntut loyalitas tunggal dan memenuhi kepentingan warganya. Pelaku bukan negara (non-state actors) mempunyai banyak pilihan yang tidak dapat dipenuhi hanya oleh negara. Akibatnya, kejahatan trans-nasional menjadi kecenderungan kuat saat ini dan di masa depan.
Perkembangan internasional ke depan akan diwarnai oleh kesalingtergantungan (interdependensi) yang makin kuat. Perkembangan ini membuat hubungan internasional menjadi makin sensitif bahkan melahirkan persepsi kerapuhan (vulnerability) terhadap perubahan-perubahan eksternal. Akibatnya, masalah-masalah dalam negeri tidak dapat diisolasi dari masalah-masalah internasional. Batas spasial-geografis menjadi kurang relevan dalam menghadapi interdependensi dan keterbukaan. 

2. Aspek Kebijakan Pertahanan dan Keamanan 

Dalam situasi seperti itu, pemerintah belum belum merumuskan kebijakan umum pertahanan negara. Kebijakan umum pertahanan memberi arah tentang apa yang hendak dicapai pada masa pemerintahan sekarang ini dan bagaimana mencapainya. Kebijakan umum pertahanan memberikan arah tentang apa yang akan dihadapi oleh Indonesia dalam perubahan perkembangan internasional dan internal. Di sini kebijakan umum pertahanan negara berisi penilaian tentang potensi ancaman (threat assessment) baik eksternal maupun internal atas dasar analisa lingkungan strategis dan karakter geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Kebijakan umum pertahanan negara juga menjelaskan penilaian tentang kapabilitas pertahanan yang dimiliki dan harus dikembangkan oleh Indonesia dengan melihat perkembangan kapabilitas pertahanan negara-negara lain, terutama di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik. Akhirnya, kebijakan umum pertahanan juga berisi strategi pertahanan tentang bagaimana menghadapi perkembangan-perkembangan potensi ancaman dan lingkungan strategis yang kemudian diturunkan dalam pengembangan strategi dan kekuatan pertahanan Indonesia. Sampai saat ini kebijakan umum pertahanan negara belum dirumuskan secara formal. Tidak hanya hal ini merupakan keharusan strategis dan politik yang akan menjadi pedoman perumusan kebijakan pertahanan melalui Departemen Pertahanan, melainkan juga merupakan keharusan legal seperti yang ditentukan oleh Undang-undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Dalam merumuskan Kebijakan Umum Pertahanan Negara Presiden dibantu oleh suatu dewan keamanan nasional yang di dalam Undang-Undang No. 3/2002 disebut Dewan Pertahanan Nasional. Ke depan nama dewan ini harus diganti menjadi Dewan Keamanan Nasional. Beberapa orang mengatakan untuk menjalankan fungsi dewan ini bisa digunakan Wantannas yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 1999. Atau, paling tidak orang dapat mempertanyakan mengapa harus ada Dewan Pertahanan Nasional sementara dalam waktu yang sama ada kabinet yang di dalamnya terdapat beberapa menteri yang membidangi masalah pertahanan dan keamanan.
DPN berbeda dari Wantannas atau kabinet. Suatu dewan keamanan nasional bertugas menganalisa isu-isu ancaman, dari mana ancaman datang, dan bagaimana menghadapi ancaman tersebut. DPN memberikan nasehat kepada Presiden dalam pembuatan kebijakan umum pertahanan negara, menyusun kebijakan tentang pengerahan kompoen pertahanan, dan menelaah resiko dari kebijakan yang ditetapkan. Tetapi ada fungsi yang lebih fundamental. Ketua dewan keamanan nasional adalah juga penasehat presiden dalam bidang keamanan (national security adviser) yang sehari-harinya berkomunikasi dengan Presiden. Dalam situasi krisis keberadaan DPN sangat diperlukan, terutama ketika pemerintah menghadapi situasi darurat atau mendesak yang segera harus ditangani dengan segala resikonya, termasuk ketika harus menggunakan instrumen kekerasan dan memberlakukan keadaan darurat pada berbagai tingkatan. Sebagai tangan Presiden, tanggung jawab politik dari DPN ada di pundak Presiden. Struktur dan keanggotaan DPN di luar keanggotaan tetap seperti yang dicantumkan dalam undang-undang tergantung dari Presiden sesuai dengan kepentingan dan prioritas masalah keamanan dalam kurun waktu tertentu. Anehnya, sampai sekarang dewan keamanan nasional belum dibentuk.
Untuk menjadi operasional kebijakan umum pertahanan negara harus diterjemahkan ke dalam beberapa kebijakan yang lebih kongkrit yang disebut juga kebijakan penyelenggaraan pertahanan yang menjadi tanggungjawab dari Departemen Pertahanan yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan. Esensi dari kebijakan penyelenggaraan pertahanan adalah pembuatan policy dan pengelolaan (management). Penjabarannya meliputi perumusan kebijakan strategi pertahanan, kebijakan pengembangan kekuatan pertahanan (termasuk di dalamnya pengadaan atau procurement, pembinaan potensi pertahanan), pengembangan teknologi dan industri pertahanan, kebijakan alokasi anggaran pertahanan, dan kebijakan umum pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI. Kebijakan-kebijakan penjabaran dari kebijakan umum pertahanan negara ini jelas menunjukkan bahwa Menteri Pertahan tidak hanya berwenang merumuskan kebijakan pertahanan, melainkan juga kontrol terhadap TNI, termasuk kontrol terhadap pembinaan kekuatan pertahanan apakah sesuai dengan kebijakan pembangunan kekuatan yang dirumuskan oleh Departemen Pertahanan sesuai dengan kebijakan pertahanan umum. Salah satu alat kontrol yang penting adalah kontrol terhadap anggaran TNI yang dikelola oleh Departemen Pertahanan. Semua kewenangan ini dan pertanggungjawaban politiknya tidak dapat berikan kepada TNI karena mereka bukan institusi atau aktor yang memegang akuntabilitas politik.
Masalah kebijakan lain dalam satu tahun ini berkaitan dengan keterbatasan sumber-sumber nasional untuk kepentingan pertahanan. Ini akan membawa implikasi pada dua hal yaitu pengembangan sistem pertahanan dan keamanan yang memberi ruang untuk pengerahan sumber-sumber nasional untuk kepentingan pertahanan. Sishankamrata harus diartikan dalam konteks ini. Implikasi kedua adalah pilihan strategi pertahanan. Sishankamrata masih dipahami sebagai nilai dan norma yang sebanarnya tidaklah unik Indonesia. Yang lebih penting adalah menerjemahkan nilai tersebut ke dalam sistem operasional untuk melibatkan rakyat dalam upaya bela negara serta pengerahan potensi nasional untuk kepentingan pertahanan negara. Disinilah perlu ada regulasi politik dan kebijakan dalam bentuk undang-undang bela negara, wajib militer, komponen cadangan dan undang mobilisasi dan demobilisasi. Semua langkah ini didasarkan atas pertimbangan bahwa selalu ada gap antara tujuan yang hendak diraih dengan ketersediaan sumber-sumber untuk mencapai tujuan tersebut, tetapi juga untuk memenuhi prinsip politik berupa hak dan kewajiban rakyat dalam upaya pertahanan negara.
Apa yang dilakukan oleh Departemen Pertahanan dengan inisiatif mengajukan suatu rancangan undang-undang pertahanan dan keamanan negara adalah salah upaya untuk menterjemahkan prinsip hankamrata tersebut ke dalam sistem yang operasional. Langkah ini menegaskan dua hal yaitu pertama untuk menegaskan kewenangan otoritas politik dalam mengelola pertahanan negara, termasuk dalam pengerahan potensi untuk kepentingan pertahanan. Kedua, melindungi hak rakyat sebagai non-combatant sesuai dengan prinsip-prinsip Konvensi Jenewa 1949 dan Pro            tokolnya.
Implikasi kedua dari keterbatasan sumber nasional untuk pertahanan adalah perlunya pengembangan strategi pertahanan. Strategi adalah seni untuk mencapai tujuan dengan sumber-sumber yang terbatas. Karena itu strategi pertahanan harus efisien dan efektif. Pilihan strategi pertahanan harus segera dilakukan dengan memperhatikan aspek penangkalan, pertahanan, dan perlawanan yang harus dilihat sebagai variable kontinyu. Dengan demikian perlu pengembangan semua kekuatan matra secara proporsional. Dalam konteks ini, Indonesia harus menerjemahkan posisi geostrategis dan geopolitik Indonesia sebagai negara kepulauan ke dalam strategi pertahanan yang memenuhi aspek penangkalan, pertahanan dan perlawanan. Jadi, initinya adalah strategi pertahanan apa yang harus dikembangkan oleh Indonesia yang secara efisien dan efektif dapat melindungi Indonesia dengan memperhatikan ketiga aspek pertahanan tersebut? Tetapi yang pasti secara empirik adalah bahwa meskipun benar Indonesia masih menghadapi ancaman keamanan internal, ancaman internal tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk mengembangkan kekuatan pertahanan yang kredibel.
Dalam satu tahun ini, upaya memenuhi kebutuhan alutsista masih menghadapi banyak kesulitan. Meskipun embargo senjata oleh Amerika Serikat sudah dicabut, kendala finansial masih menyulitkan pengadaan alutsista (alat utama sistem persenjataan). Pilihan pengadaan barang melalui kredit ekspor masih menjadi alternatif terakhir yang terpaksa dilakukan. Tentunya hal ini disertai dengan beberapa resiko mahalnya produk. Keterlibatan banyak pihak dalam pengadaan barang/jasa militer juga menjadi beban negara karena membengkaknya harga yang harus dibayar. Oleh karena itu apa yang dilakukan oleh Departemen Pertahanan melalui Keputusan Menteri Pertahanan No: Kep/01/M/I/2005 dan Kep/15/M/II/2005 tentang pengadaan barang patut disambut positif. Menurut Keputusan Menteri Pertahanan tersebut pengadaan barang harus ditandatangani oleh pengguna barang/jasa, penyedia barang/jasa (pabrikan dan distributor) dan Panitian Pengadaan dan Tim Interdep yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan. Dengan demikian KepMen ini ditujukan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dalam pengadaan barang/jasa militer.
Hal lain yaitu pengambilalihan bisnis militer, seperti dinyatakan dalam Pasal 76 Undang-Undang No. 34 tentang Tentara Nasional Indonesia. Langkah ini banyak mengandung aspek teknis dan hukum semata-mata karena beragamnya bisnis militer yang mencakup yayasan, kooperasi, penyerataan saham di sektor komersial, dan komersialisasi asset-aset militer. Karena itu langkah identifikasi dan inventarisasi yang harus disertai dengan audit harus segera dilakukan. Pengambilalihan bisnis militer didasarkan atas asumsi bahwa domain expertise militer adalah dalam bidang pertahanan untuk menghadapi ancaman bersenjata. Keterlibatan militer dalam bisnis telah melemahkan profesionalisme militer dan menciptakan loyalitas atas dasar kepentingan ekonomi. Hal ini bisa merusak social capital dan chain of command dalam tubuh militer. Tetapi negara memang harus memenuhi kesejahteraan dan kebutuhan prajurit. Hal ini bukan kompensasi dari pengambilalihan, melainkan karena kewajiban negara karena militer telah mengorbankan dua hal yaitu kesiapan untuk mengorbankan nyawa karena tugas dan karena sebagian hak dasarnya sebagai makluk politik telah dipotong. Karena itu perlu ada komitmen politik dari pemerintah untuk meningkatkan anggaran pertahanan.

3. Aspek institusional dan hubungan kewenangan 

Aspek institusional dan hubungan kewenangan adalah aspek yang sensitif karena mengandung masalah politik dan hubungan kekuasaan. Meskipun secara legal telah diatur kewenangan politik dan operasional, ketentuan legal ini belum diimplementasikan. Hubungan antara Departemen Pertahanan dan Mabes masih tumpang tindih. Posisi panglima langsung dibawah Presiden mempunyai implikasi politis dan psikologis dalam hubungannya dengan Departemen Pertahanan. Terlebih Departemen Pertahanan masih menghadapi kelemahan sumber daya manusia terutama terbatasnya kemampuan sipil di dalam Departemen Pertahanan.
Hal yang sama terjadi dalam kasus polisi yang tampak menjadi institusi relatif independen. Prinsip bahwa semua instrumen keamanan dan pertahanan harus di bawah suatu otoritas politik yang mengemban pertanggungjawaban politik atas fungsi instrument tersebut sampai saat ini belum terwujud. Oleh karena itu ke depan pemerintah harus merumuskan kembali hubungan-hubungan institusional-kewenangan antara pengemban akuntablitas politik dan akuntabilitas operasional sehingga prinsip-prinsip demokrasi dalam fungsi hankam dapat diwujudkan. Menyatunya pertanggungjawaban politik dan operasional sangat mudah mengarah pada berbagai pelanggaran, termasuk pelanggaran dengan menggunakan alat kekerasan.
Tetapi, hal itu bukan berarti bahwa Panglima TNI dan Kapolri tidak mempunyai saluran untuk memberi sumbangan pemikiran mereka dalam perumusan kebijakan bidang pertahanan dan keamanan. Telah disediakan mekanisme untuk itu yaitu melalui dewan keamanan nasional yang dalam UU 3/2002 tentang Pertahanan Negara disebut Dewan Pertahanan Nasional. Anehnya sampai sekarang dewan ini belum dibentuk. Beberapa orang mengatakan untuk menjalankan fungsi dewan ini bisa digunakan Wantannas. Atau, mempertanyakan mengapa harus ada Dewan Pertahanan Nasional sementara dalam waktu yang sama ada kabinet yang di dalamnya terdapat beberapa menteri yang membidangi pertahanan dan keamanan.
DPN berbeda dari semua itu dan lebih dari semua itu. Suatu dewan keamanan nasional bertugas menganalisa isu-isu ancaman, dari mana ancaman datang, dan bagaimana menghadapi ancaman tersebut. DPN memberikan nasehat kepada Presiden dalam pembuatan kebijakan umum pertahanan negara, menyusun kebijakan tentang pengerahan kompoen pertahanan, dan menelaah resiko dari kebijakan yang ditetapkan. Tetapi ada fungsi yang lebih fundamental. Ketua dewan keamanan nasional adalah juga penasehat presiden dalam bidang keamanan yang sehari-harinya berkomunikasi dengan Presiden. Dalam situasi krisis keberadaan DPN sangat diperlukan, terutama ketika pemerintah menghadapi situasi darurat atau mendesak yang segera harus ditangani dengan segala resikonya, termasuk ketika harus menggunakan instrumen kekerasan dan memberlakukan keadaan darurat. Sampai sekarang dewan keamanan nasional belum dibentuk.
Hubungan antara TNI dan Polri dalam menangani masalah keamanan juga masih bermasalah. Prinsip bahwa TNI mempunyai idle capacity yang bisa digunakan untuk melakukan operasi militer selain perang tidak berarti cek kosong bahwa tugas perbantuan terhadap polisi bisa dilakukan secara otomatis. Adalah pemerintah yang mempunyai kewenangan untuk memutuskan pengerahan TNI untuk tugas perbantuan kepada polisi. Sampai sekarang belum ada undang-undang tentang ini yang mengatur tentang kapan pengerahan TNI dapat dilakukan, siapa yang memutuskan, bentuk pertanggungjawaban, bentuk keterlibatan TNI dan aturan pelibatan (rules of engagement) dan konsekuensi anggaran dari perbantuan tersebut. Kompleksitas ini tidak cukup secara politik hanya diatur dalam suatu peraturan pemerintah atau bahkan suatu MOU.

1 komentar:

  1. Wynn Hotel Las Vegas - Mapyro
    Wynn Hotel Las Vegas. A map 천안 출장안마 showing Wynn 사천 출장안마 Las Vegas and 경산 출장안마 Encore 제주도 출장안마 Beach Club, Las Vegas, Nevada. Wynn Hotel and Casino 강원도 출장안마 is located at 8.716 US

    BalasHapus