Pengalaman tidak mengenakkan Prita sebagai seorang pasien dari sebuah rumah sakit, dilampiaskan dengan keluh kesah berkirim email pada temannya. Tidak diduga oleh siapapun ternyata curahan hati itu berdampak hukum, harus mendekam di penjara. Benarkah hanya karena memberi kritik seseorang bisa ditahan? Mengapa sebuah keluhan seorang pasien lewat media elektronik internet dapat berdampak hukum demikian besar?
Sebenarnya bila ditilik secara
cermat, pengalaman seperti ini banyak sekali dialami baik oleh pasien dan pihak
rumah sakit. Cukup sering dijumpai seorang pasien mengadukan ketidak puasan
layanan seorang dokter dan rumah sakit baik di media cetak, elektronik dan
internet. Fenomena yang biasa terjadi ini menjadi sesuatu yang sangat besar karena
baru pertamakali sebuah rumah sakit berani menuntut dugaan pencemaran nama baik
yang dilakukan pasien.
Kasus Prita, merupakan potret
sebuah riak kecil dalam kehidupan masyarakat yang mampu menghebohkan masyarakat
Indonesia. Tampaknya fenomena ini dijadikan proses pembelajaran bagi masyarakat
tentang permasalahan yang selama ini yang terjadi.
Tidak fokus masalah
Mungkin bagi sebagian masyarakat hal itu merupakan sebuah sekedar kritikan untuk sebuah pelayanan rumah sakit. Kelompok lain mengatakan sekedar kirim email mengapa harus mengorbankan seorang Ibu rumah tangga dengan memisahkan dua anak kecil di rumahnya. Tetapi pihak rumah sakit yang berseteru tetap bersikeras bahwa tulisan sang ibu jelas-jelas sebuah pencemaran nama baik.
Bila disimak lebih cermat
ternyata asal muasal sengketa adalah dugaan pencemaran nama baik oleh bekas
pasien kepada rumah sakit yang pernah merawatnya. Dalam tulisan tersebut
tersurat bahwa rumah sakit berikut dokternya sebagai penipu dan rumah sakit
mencari pasien berkedok hasil laboratorium yang fiktif. Jadi sekali lagi
permasalah utama adalah dugaan pencemaran nama baik, bukan sekedar penulisan
atau berkeluh kesah melalui email. Fokus masalah yang tidak jelas inilah yang
akan mengaburkan permasalahan yang sebenarnya ada. Interpretasi pemcemaran nama
baik sendiri akan terjadi multitafsir sehingga harus diarahkan pada jalur
hukum.
Dari sebuah cerita yang kecil
tersebut ternyata berdampak besar dan menjadi sesuatu kontroversi yang tiada
berhenti ujungnya. Dari pengalaman yang seringkali terjadi tersebut menjadi
melebar tak tentu arah. Karena pelaku dugaan pencemaran nama baik adalah
seorang ibu yang tidak berdaya yang mempunyai anak kecil maka opini, simpati
dan dukungan mengalir secara deras tak terbendung tanpa melihat fokus masalah
dan demi kebebasan berpendapat.
Dengan suhu politisi yang
tinggi ini tidak disia-siakan seorang calon presiden yang masih aktif menjabat
wakil presiden mengatakan dengan lebih cepat dan lebih baik. Bebaskan Prita,
polisi harus pelajari kasusnya lagi lebih baik. Sedangkan calon presiden lain
yang biasa berhemat kata, dengan bahasa tubuh langsung mengunjungi Prita ke
tempat tahanan. Presiden sebagai calon presiden incumbent seakan tak mau kalah
menyikapinya secara jelas dan tegas mengatakan bahwa dalam menegakkan hukum
harus memakai hati nurani dan rasa keadilan. Dalam pencitraan mungkin tindakan
para calon pemimpin negeri ini sangat hebat dalam membela wong cilik. Tetapi
dari sisi hukum campur tangan terhadap penegakan hukum yang selama ini
didengungkan mereka, tampaknya akan pudar walau untuk membela kaum lemah.
Bukankah di mata hukum semua orang sama tidak ada bedanya.
Kalau sudah orang-orang besar
dinegeri ini mengayuhkan langkahnya, pasti masyarakat dan pejabat di bawahnya
akan mengikuti dan bersuara lebih keras lagi. Menteri kesehatan beberapa hari
berikutnya dengan lantang mengatakan bahwa nama Internasional harus dicopot
karena menyalahi aturan, padahal banyak nama Rumah Sakit Internasional yang
serupa selama ini tidak dipermasalahkan. Kejaksaan Agung dan Polisi sebagai
penegakan hukum ikut saling tuding karena desakan masyarakat dan campur tangan
pemimpin negeri ini. Bahkan karenanya, dalam waktu singkat Prita langsung
dibebaskan dari tahanan.
Begitu yang menjadi pelaku
sengketa adalah Rumah Sakit dan dokter, maka kesempatan munculnya opini yang
tak terkendali menyudutkan tindakan dokter dan rumah sakit di manapun berada.
Permasalahan menjadi melebar kemana-mana. Permasalahan berlanjut pada dokter
yang dianggap tidak manusiawi, rumah sakit mata duitan, dokter tidak
professional dan sebagainya. Dokter adalah manusia biasa, sangkaan tersebut
adalah hal yang mungkin saja benar terjadi walau tidak boleh digeneralisasikan.
Etika berpendapat
Paska reformasi bangsa Indonesia adalah negara demokrasi dan negara hukum yang melindungi setiap warga negara dalam melakukan setiap bentuk kebebasan berpendapat, menyampaikan gagasan baik secara lisan maupun tulisan, hal ini dilindungi peraturan perundang-undangan di Indonesia baik didalam batang tubuh UUD 1945 pasal 28, maupun diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 mengenai jaminan hak-hak sipil dan politik, dimana poin-poin hak yang harus dilindungi oleh Negara mengenai hak berpendapat, hak berserikat, hak memilih dan dipilih, hak sama dihadapan hukum dan pemerintahan, hak mendapatkan keadilan.
Paska reformasi pula
masyarakat Indonesia mengalami euphoria demokrasi yang sangat hebat. Dahulu
untuk berbicara dengan nada tinggi terhadap presiden sudah menjadi pidana,
sekarang mengkritik presiden di depan umum adalah hal biasa. Tampaknya kasus
Prita ini adalah kasus yang kesekian kali sebagai pembelajaran bagi bangsa ini
dalam berdemokrasi yang sebenarnya.
Sebagai negara demokrasi
kebebasan berpendapat tidak harus menjadi sekedar bebas mengemukakan pendapat
tetapi harus bertanggung jawab dan beretika dalam berpendapat. Menentukan
parameter nilai etika dalam berpendapat yang ideal sangat sulit. Setiap
upaya penentuan batas nilai etika berpendapat akan divonis sebagai pengebirian
berpendapat. Bahkan undang undang baru seperti Undang-undang Informasi
dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang diciptakan oleh para ahli hukum dan
pendekar demokrasi saja dianggap mengkebiri kebebasan berpendapat.
Etika berpendapat tersebut
tidak perlu harus sesuai dengan etika adat ketimuran atau etika kesopanan.
Tetapi layaknya dalam berpendapat harus sesuai dengan fakta yang sebenarnya
tanpa harus men”justifikasi” fakta yang masih belum jelas. Artinya, dalam
kebebasan berpendapat tidak boleh memutarkan balikkan fakta kebenaran yang ada.
Bila hal ini terjadi akan merupakan fitnah dan pencemaran nama baik. Bila etika
berpendapat hanya melanggar etika adat, budaya dan kesopanan tidak terlalu
masalah karena sangsi yang didapat hanyalah sekedar sangsi sosial.
Pameo lama mengatakan fitnah
lebih kejam dari pembunuhan sehingga wajar bila itu terjadi akan berdampak
hukum. Karena fitnah dan pencemaran nama baik akan berakibat sangat merugikan
bagi yang mendapatkannya. Ternyata dari sebuah opini yang memutarkan balikkan
fakta yang ada, dapat mematikan kehidupan dan mata pencaharian seseorang.
Seorang pedagang bakso diisukan memakai daging celeng akan membuat pedagang
akan kehilangan mata pencaharian. Begitu juga seorang dokter dituding sebagai
penipu maka hancurlah citra profesionalnya. Demikian juga sebuah perusahaan
kosmetik bila diisukan memakai minyak babi akan hancurlah perusahaan tersebut,
demikian juga rumah sakit. Bila semua orang boleh bebas berpendapat seenaknya
tanpa beretika, maka akan kacaulah negera demokrasi ini.
Dokter dan rumah sakit adalah
pihak yang sering dijadikan sasaran tembak istilah tidak profesional, penipuan
dan malpraktek baik oleh masyarakat dan media masa. Setiap hari dengan mudah
ditemui milis kesehatan dan konsultasi kesehatan yang terlalu cepat memvonis
bahwa seorang dokter melakukan malpraktek atau kesalahan dalam tugas
profesionalnya. Setiap periode dapat disaksikan di media televisi dokter
divonis malpraktek sebelum jalur hukum ditempuh. Bisa saja dari sekian banyak
dugaan malpraktek tersebut bila diajukan dalam jalur hukum secara jujur dan
ilmiah maka tidak sebanyak yang diduga. Meskipun tidak menutup mata tentang
masih adanya tindakan malpraktek yang masih sering terjadi. Kecurigaan
malpraktek kepada dokter atau rumah sakit biasanya terjadi karena kelemahan komunikasi
pasien dan dokter atau perbedaan persepsi tindakan kedokteran. Hal lain sebagai
penyebab adalah masalah harapan kesembuhan yang demikian besar tidak sebanding
dengan biaya sangat besar yang telah dikeluarkan. Banyak cerita karena
kebebasan berpendapat yang tidak sesuai dengan fakta kebenaran ternyata
mengorbankan kerugian moral dan material bagi dokter dan rumah sakit yang
sangat besar.
Bila seseorang pasien
bersengketa atau tidak puas dengan layanan dokter atau rumah sakit bukan
merupakan kesalahan bila berkeluh kesah di depan umum tentang keburukan layanan
yang diterimanya. Ketidakpuasan tersebut apakah karena layanan yang tidak
menyenangkan atau karena rumah sakit menyalahi aturan yang ada. Bila
karena layanan yang tidak menyenangkan, maka hal ini tidak masalah bila
dikupas tuntas di depan umum. Justru beberapa rumah sakit mengharapkan masukan
seperti ini untuk perbaikan kualitas layanannya. Bila fakta itu benar terjadi
maka masalah tersebut harus diungkap karena akan berguna bagi masyarakat lain
atau perbaikan dari dokter dan rumah sakit.
Menjadi lebih rumit bila
masalah yang timbul bila rumah sakit atau dokter dianggap menyalahi aturan yang
ada dan terlalu dini divonis bersalah. Masalah sering timbul karena perbedaan
persepsi dan latar belakang pengetahuan dan keilmuan yang ada dari pihak yang
bersengketa. Pihak pasien bersikeras bahwa pihak dokter atau rumah sakit
melakukan malpraktek sedangkan pihak lainnya mengatakan sudah sesuai prosedur
yang ada. Sengketa seperti inilah sebelum beropini bisa diajukan ke jalur
hukum. Kalaupun sudah tidak sabar beropini maka sebaiknya menggunakan kalimat
yang tidak bernada memutarbalikkan fakta yang ada. Atau jangan terburu-buru
memvonis terjadi penipuan atau malpraktek sebelum mendalami permasalahan yang
sebenarnya terjadi. Kebebasan berpendapat yang tidak sesuai dengan fakta yang
ada akan dapat menghancurkan kehidupan seseorang dan sekelompok manusia yang
ada di dalamnya. Jangan sekalipun berperasangka bahwa kebebasan beropini yang
bertanggung jawab serta beretika akan memberangus kebebasan berpendapat.
Demokrasi dibangun demi keadilan dan kebersamaan hak tanpa ada yang boleh
dirugikan. Seorang demokrat yang bebas berpendapat dengan mengabaikan hak orang
lain adalah demokrat yang “keblinger”. Masalahnya sekarang apakah hukum dan
undang-undang yang ada dapat mengakomodasikannya tanpa harus mengkebiri
kebebasan berpendapat seseorang.
Mungkin perlu debat yang tidak
akan terselesaikan untuk menentukan mana yang salah dan mana yang
benar. Sehingga jalur hukum adalah jalan tengah yang harus dilakukan,
bila kompromi yang sudah ditawarkan tidak terselesaikan. Paling tidak masalah
ini dapat dijadikan pembelajaran semua masyarakat. Bagi pihak dokter dan rumah
sakit dalam memberikan pelayanan optimal harus memberikan komunikasi baik dan
profesionalisme tinggi. Bagi pasien berhak mendapatkan perawatan yang terbaik
dan berhak mengeluarkan ketidakpuasannya tanpa harus memberi tuduhan dan fakta
yang belum jelas terbukti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar